"Tergantung banyak hal, termasuk situasi Covid yang semakin membaik. Tapi, sejauh ini ya niatnya datang," katanya kepada wartawan, Rabu (23/3/2022).
Sementara itu, AS dan negara-negara sekutunya mempertimbangkan untuk mengeluarkan Rusia dari keanggotaan forum Internasional tersebut.
Australia protes
Perdana Menteri Australia Scott Morrison prihatin terhadap rencana Putin untuk menghadiri KTT G20 di Indonesia tahun ini.
"Gagasan untuk duduk satu meja dengan Vladimir Putin, yang Amerika Serikat (saja) sudah dalam posisi menyerukan tentang kejahatan perang di Ukraina, bagi saya adalah langkah yang terlalu jauh," kata Morrison saat konferensi pers, dilansir Reuters (24/3/2022).
Seperti diketahui, AS telah memimpin penerapan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Rusia.
Ketegangan pun meningkat antara kedua negara, mencapai tingkat yang tidak terlihat sejak Perang Dingin.
Sikap Indonesia Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menegaskan, Indonesia selaku ketua presidensi G20 mengundang seluruh anggota, termasuk Rusia.
"Sebagai presidensi dan sesuai dengan presidensi-presidensi sebelumnya adalah untuk mengundang semua anggota G20, dan bahwa diplomasi Indonesia selalu didasarkan pada prinsip-prinsip based on principal," kata Duta Besar RI sekaligus Stafsus Program Prioritas Kemlu dan Co-Sherpa G20 Indonesia, Triansyah Djani, dalam konferensi pers secara virtual, Kamis.
Triansyah mengatakan, sikap Indonesia di berbagai forum atau organsiasi internasional selalu berpegang pada aturan presidensi. Hal yang sama, kata dia, juga berlaku dalam pelaksanaan KTT G20 di Bali.
"Oleh karena itu, memang kewajiban Presidensi G20 untuk mengudang semua anggotanya," ujar dia.
RI tak bisa langsung keluarkan Rusia Di sisi lain, Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon menilai, Indonesia tidak bisa serta merta bersikap atas permintaan negara Barat agar Rusia keluar dari G20. Menurutnya, langkah tersebut tidak tepat dilakukan dalam hal diplomasi internasional.
"Kita harus berada di posisi yang berjarak sama antara kepemimpinan barat dan kepemimpinan Rusia," kata Effendi ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis.
Sebaliknya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai perlu memanfaatkan posisi Indonesia yang memegang Presidensi G20 untuk mengatasi konflik di Eropa Timur itu. "Nah kalau beliau tidak memanfaatkan, beliau hanya sebagai event organizer dong. Masa setingkat event organizer kita? (Hanya) sukses di penyelenggaraan," ujarnya.
Juru damai konflik Di sisi lain, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, Indonesia harus menyukseskan agenda KTT G20 dan memastikan seluruh kepala pemerintahan dan kepala negara hadir. Ia mengatakan, Indonesia juga bisa turun menjadi juru damai atas konflik di Ukraina.
"Kemenlu harus turun menjadi juru damai atas konflik yang terjadi di Ukraina dan saat ini meluas antara AS dengan sekutunya dan Rusia," kata Hikmahanto saat dihubungi Kompas.com, Kamis. Menurut dia, pemerintah bisa meminta perwakilan Indonesia di AS dan negara-negara sekutu untuk mengidentifikasi apa yang diminta terhadap Rusia.
Hal serupa, kata dia, juga harus dilakukan perwakilan Indonesia di Rusia. "Selanjutnya Menlu berdasarkan masukan dari perwakilan Indonesia merumuskan solusi yang tepat untuk ditawarkan baik ke AS dan sekutunya dan ke Rusia," ujarnya.
Selanjutnya, ia mengatakan, Menteri Luar Negeri dapat melakukan shuttle diplomacy atau diplomasi ulang alik untuk membicarakan solusi yang ditawarkan pemerintah Indonesia. "Langkah terakhir, bila diperlukan Menlu dapat meminta Presiden untuk melakukan pembicaraan langsung dengan Presiden Putin dan Presiden Joe Biden agar konflik segera diakhiri demi kemanusiaan dan keselamatan serta perekonomian dunia," ucap dia.