views
Seperti dilansir dari Reuters, Kamis (24/3/2021), seorang sumber menjelaskan bahwa aturan ini diperlukan untuk membuat platform mau menghapus konten yang melanggar hukum dengan cepat. Aturan ini serupa dengan aturan yang membuat para aktivis negara-negara lain, seperti India, khawatir.
Indonesia diketahui merupakan pasar 10 besar secara global berdasarkan jumlah pengguna untuk perusahaan media sosial, termasuk Youtube Alphabet Inc, TikTok, Twitter Inc, Facebook, Instagram, dan WhatsApp Meta. Beberapa eksekutif perusahaan online yang diberi pengarahan terkait rencana tersebut memperingatkan bahwa langkah-langkah itu akan sulit dipatuhi. Selain itu, aturan ini dinilai akan meningkatkan biaya operasi mereka dan dapat merusak kebebasan berekspresi di Indonesia.
Sumber tersebut menjelaskan aturan baru ini akan mengharuskan perusahaan menghapus konten yang dianggap melanggar hukum dalam waktu empat jam jika permintaan dianggap 'mendesak'. Permintaan lain yang tidak mendesak harus dipenuhi dalam waktu 24 jam. Langkah-langkah itu, yang sedang disusun oleh Kemenkeu dan Kominfo, disebut akan segera diselesaikan dan dilaksanakan mulai Juni.
Dua sumber lain menjelaskan para pejabat juga mengungkapkan kepada perusahaan internet bahwa permintaan pemerintah 'mendesak' akan mencakup konten yang dianggap sensitif di bidang-bidang seperti keamanan, terorisme dan ketertiban umum, perlindungan anak serta dan pornografi.
Tiga sumber lain juga mengungkap, setelah menerima keluhan resmi, perusahaan akan didenda per item konten, dengan denda akan naik jika konten bertahan lebih lama di platform. Hal ini juga tertuang dalam dokumen yang diterima Reuters.
Denda akan ditentukan oleh ukuran perusahaan dilihat dari pengguna lokal dan 'keparahan konten'. Besaran denda masih harus diselesaikan tetapi bisa mencapai jutaan rupiah per item.
Sementara itu, platform yang gagal memenuhi permintaan pemerintah bisa diblokir dan pegawainya bisa terkena sanksi pidana.
Peraturan tersebut akan berlaku untuk semua platform internet dan digital yang ditetapkan sebagai operator sistem internet. Aturan ini diberlakukan untuk raksasa media sosial, e-commerce, fintech, dan perusahaan telekomunikasi.
Alasan Munculnya Aturan
Seorang pejabat yang menjadi sumber Reuters itu juga mengungkapkan aturan ini muncul karena maraknya kasus penipuan, hoax, hingga disinformasi terkait isu politik dan virus Corona.
"Kami membutuhkan tindakan tegas sekarang karena pemerintah telah dikritik dan dianggap tidak mampu menjalankan kewajibannya," kata pejabat itu.
Lima sumber perusahaan yang terlibat dalam pembahasan ini juga mengatakan perusahaan lokal dan internasional juga mengaku tidak memiliki cukup staf untuk memenuhi permintaan pemerintah terkait penghapusan konten dalam waktu 24 jam.
Tiga sumber dari tiga perusahaan media sosial pun mengatakan mereka khawatir tentang kemungkinan kewenangan pemerintah terhadap konten online ini.
"Ada kekurangan definisi (jelas) tentang apa yang dicakup, seperti isu 'terorisme', kami dapat diminta menghapus kritik terhadap pemerintah tentang topik-topik seperti Papua Barat," kata satu sumber kepada Reuters.
"Banyak isu tentang kebebasan berekspresi akan muncul," lanjutnya.
Tanggapan Kominfo
Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi menanggapi laporan Reuters terkait aturan ini. Dedy menegaskan laporan tersebut tidak terkait dengan revisi UU ITE.
"Perlu kami klarifikasi bahwa peraturan yang disinggung dalam laporan Reuters tersebut bukan merupakan bentuk revisi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta perubahannya (UU ITE). Melainkan penyusunan peraturan pelaksana dari UU ITE yang sudah disahkan pada 2008 dan direvisi pada 2016," kata Dedy saat dihubungi detikcom, Kamis (24/3/2022).
Dedy juga menuturkan aturan ini dibahas dengan Kemenkeu. Saat ini kedua kementerian tersebut memang sedang membahas soal PP tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Saat ini memang Kementerian Kominfo bersama Kementerian Keuangan sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Kominfo (RPP PNPB). Salah satu muatan dalam RPP PNBP tersebut adalah ketentuan nilai denda yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran pada UU ITE, dan PP No 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE)," tuturnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan aturan ini merupakan amanat dari UU ITE dan PP PSTE. Adapun pengaturan terkait ketentuan pidana tetap merujuk pada UU ITE.
"Penyusunan RPP PNBP merupakan amanat dari UU ITE dan PP PSTE yang telah mengatur pengenaan sanksi administratif berupa pengenaan denda apabila suatu Penyelenggara Sistem Elektronik termasuk platform internet tidak memenuhi kewajiban yang berlaku. Sesuai sifatnya yang mengatur sanksi administratif, RPP PNBP tidak mengatur pengenaan ketentuan pidana. Adapun untuk pengaturan ketentuan pidana tetap merujuk pada UU ITE," jelasnya.
Comments
0 comment